Saturday, May 5, 2012

Arti sebuah harapan

Tersadar dalam benakku, setiap detik dalam detak jantungku, setiap menit dalam hembusan napasku, setiap jam dalam langkah kakiku dan setiap hari dalam hidupku hanya terbuang percuma untuk dirimu seorang. Sesosok bayangan abu-abu yang tampak sentiasa membutakan sepasang mata. Sosok yang selalu membiusku dengan tatapan matanya, sosok yang dapat membungkam seluruh semesta hanya melalui ucapan yang mengalir dari bibirnya. Sosok yang tak akan pernah lekang oleh waktu.

Tahun - tahun aku lewati dengan harapan pada keajaiban yang tak pernah kunjung datang. Setitik kecil harapan yang kasat oleh indra pengelihatan. Namun, jauh di dalam hati. Harapan ini pernah muncul, aku merasakannya. Harapan yang kian hari makan tumbuh, membesar dan membesar. Harapan yang menjalar di setiap jengkal hati ini. Hingga suatu saat, dalam sekejap. Duar! Ledakan amat dahsyat tak sanggup terelakkan, ledakan yang memporak - porandakan relung ini. Kini, harapan tersebut telah musnah, terbakar bersama kenangan - kenangan nan manis dari masa lalu. Ledakan yang tak menyisakan barang sejengkal pun harapan. Hanya meninggalkan jiwaku bersama luka dan sakit yang tak pernah padam.

Berat memang rasa sakit yang telah diciptakannya. Merangkak mengarungi kehidupan dengan memangkul sebongkah perihnya luka menganga tepat di bagian harapan indah itu pernah menginjakkan kakinya. Berputar mengikuti aliran waktu, berusaha untuk melupakan segala janji yang pernah diakuinya. Berlari melewati bayang - bayang pelangi di waktu lampau. Menghapus bekas - bekas warna yang masih tersimpan rapat di alamku. Mencari penawar ke segala penjuru negri. Mandatangi ujung demi ujung hanya untuk menemukan sesuatu yang kosong - hampa.

Dan tinggallah aku seorang diri disini, dan selamanya akan tetap disini. Menghabiskan sisa hidupku hanya untuk menunggu dan menunggu. Menunggu dengan luka tanpa penawar. Kenangan tanpa warna bagai langit yang tak lagi menyisakan birunya. Sunyi dan sendiri bagai awan yang enggan menemani langit. Gelap dan dingin bagai matahari yang telah mengkhianati langit. Kering kerontang bagai air laut yang benci untuk memuai tanpa sang surya. Kosong bagaikan jiwa yang letih ini. Jiwa yang akan selalu menunggu. Menunggu untuk satu - satunya hal yang tak pasti. Menantikan saat dimana Dia akan menghampiri dan memberi benih harapan. Harapan yang terukir dalam wujud sayatan kecil dari luka - luka. Harapan berupa...


Tuhan, berikan aku satu hari bersamanya. Untuk 24 jam mencintainya. 1440 menit menjaganya dan 86400 detik selalu mengenangnya sampai berakhir...